Kamis, 29 November 2012

For You


Aku coba untuk mengiringi langkahmu.
Dan terus berlari mengejar bayangmu.
Bayang yang selalu datang di pikiranku.
Membuat tak mampu berpikir selain tentangmu.
Aku coba untuk sampaikan padamu isi hati ini.
Lewat bintang yang menemani tidurmu malam sepi.
Agar kita dapat berjumpa di indahnya ruang mimpi.
Membuat khayalan tak lagi hanya sekedar ilusi.
Seperti bintang - bintang menghiasi sang malam.
Aku ingin menghiasi hidupmu dengan rasa cinta.
Seperti semilir angin senja menyertai mentari tenggelam.
Aku ingin menyertaimu dalam segala suka dan duka.
Jika kau tak inginkan diriku sebagai kekasihmu.
Biarlah ku hanya menjadi teman di saat dukamu.
Menjadi tempat melepas kesedihan di saat laramu.
Menemanimu walau pun kau tak sadar akan hadirku.

Selasa, 27 November 2012

Indah Wajahmu Slalu Kuingat


Semburat wajah
senja kemerahan.

Daun bambu hijau
jatuh berguguran.

Garis langit
mulai merona mempesona.

Bumi pelahan
ditutupi selimut temaram.

Pekik burung
walet menambah rasa kegalauan.

Suara gemuruh ombak
ikut melantunkan kesunyian.

Seorang gadis
duduk sendiri di tepi pantai.

Beralaskan batu –
batu kokoh yang berhimpitan.

Tatapan matanya
sendu menambah dingin suasana.

Seakan dia ingin
mengungkap misteri semesta rasa.

Wajah indahnya
menyiratkan kegundahan yang dalam.

Tidak tahu apa
yang membuat gundah wajahnya yang indah

TENTANG WANITA DAN CINTA


Dan tentang cinta adalah curahan air mata untuk mengobati luka

Pedih, perih akan derita hidup timbulkan sesal tutupi asa
Dimanakah kebahagiaan yang terdambakan saat muda umurku
Kucoba tuk berlari, menghempaskan mimpi rusaki kalbu
Tapi...tentang kita adalah anugerah...
tentang kepaduan cinta yang tersakiti untuk kekal abadi...
Jalan ini makin berliku dan nyeri tuk kutapaki....
tentang kita adalah abadi, takkan pernah kukenang dalam hati
terkenang berarti mati....tentang kita adalah cinta....
cinta yang hidup walau kadang panas terbakar api....


"WANITA..
dicipta dr rusuk pria,bukan dari kepalanya untuk menjadi atasnya, bukan pula dari kakinya untuk menjadi alasnya, melainkan dari sisinya untuk menjadi teman hidupnya, dekat pada lengannya untuk dilindungi & dekat pada hatinya untuk dicinta"


Ketika kau berada diluar sayang dan kau tak dapat masuk

aku akan menunjukkanmu kau lebih baik dari yang kau tahu
ketika kau tersesat dan kau sendiri dan kau tak dapat kembali lagi
aku akan menemukanmu sayang dan aku akan membawamu pulang

dan jika kau ingin menangis
aku disini mengeringkan airmatamu
dan dalam sekejap
kau akan baik-baik saja
kau pikir aku akan meninggalkanmu sayang
kau tahu aku lebih baik dari itu
kau pikir aku akan meninggalkanmu ketika kau sedang berlutut
aku takkan lakukan itu
aku akan mengatakan padamu kau benar ketika kau ingin
dan jika saja kau dapat melihatnya padaku
oh ketika kau kedinginan
aku akan disana
memelukmu erat padaku
ketika kau sedang jatuh
aku akan disana
disampingmu sayang

Merindukanmu (LDR)

Ketidakhadiranmu di hari-hariku
Membuatku ingin berteriak lantang kepada langit
Aku terdampar disini dalam situasi yang asing
Yang harus aku lakukan adalah membunuh kesepianku tanpamu...Aku rindu kamu

Hari ini

Hari ini...
Ku coba untuk tegAr
Ku coba untuk kuat
Ku coba untuk manis
Ku coba untuk senyum
Ku coba untuk bangkit
Ku coba untuk lupa akan sedihku
Walau diri bagai api
Remuk redam di dalam
Akan ku coba walau aku tak sesempurna itu
Namun tetap akan ku coba
Ku coba dan terus ku coba
Demi "dia"

Rabu, 21 November 2012

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza )

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza )
Kita Tak Akan Menyerah (Lagu untuk Gaza)

Cahaya putih yang membutakan mata
Menyala terang di langit Gaza malam ini
Orang-orang berlarian untuk berlindung
Tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati
Mereka datang dengan tank dan pesawat
Dengan berkobaran api yang merusak
Dan tak ada yang tersisa
Hanya suara yang terdengar di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini
Wanita dan anak-anak
Dibunuh dan dibantai tiap malam
Sementara para pemimpin nun jauh di sana
Berdebat tentang siapa yg salah & benar
Tapi kata-kata mereka sedang dalam kesakitan
Dan bom-bom pun berjatuhan seperti hujam asam
Tapi melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit
Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah asap tebal
Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini

Lirik Lagu We Will Not Go Down – Michael Heart

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Senin, 19 November 2012

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

Syair Sedih
Sepi yang mengekal di pelupuk malam
merobek mata hatiku yang kelam
Di atas lembaran kitab yang menua
huruf-huruf terus bernyanyi
mengabarkan maknanya
sebagian lagi
memeluk rahasia
penciptanya
Di luar kudengar jerit kuk kuk burung hantu
seolah maut telah tiba di muka pintu
lalu kulihat pada cermin, kilasan wajah-wajah sedih
wajah dosa dan doa yang terus tumpang tindih
Jakarta, Februari 2012 (Maulid 1433 H

Mengantar Mayit
sekawanan burung
beriringan menuju langit
di petang yang murung
sebagian bulu-bulunya luruh, menerpa kafan sang mayit
sang mayit yang sepi dari pengantar
hanya kesiur angin petang mengembusi pucuk-pucuk lontar
rerumput dan tanah di sekitarnya nampak garing
pangantar tak seberapa itu terus mendaraskan
doa-doa hening
ke sebuah liang sunyi lagi sempit
jasad sang mayit di turunkan
tanah-tanah yang terberai segera di timbunkan
: maka sempurnalah pemakaman
petang semakin tenggelam di ufuk paling nun
ketika talqin terlantun
al-fatihah, al-fatihah
“semoga jarak kepadaMu tertempuh sudah”
Maret, 2012

Musim Tanam
Hujan yang mencurah ke sumur-sumur ledeng
telah mengekalkan tibanya musim rendheng
Benih-benih padi yang  kau semai
ramai bercukul  hijau rinai
Sekawanan belibis terbang hinggap di pematang
di dadamu yang tipis,  duka lama telah mencipta kubang
Seperti sejarah yang  tak tahu mengapa terus berulang
padamu, segala musim di titipkan
Jalan takdir
yang menuntunmu pulang
2012

Sajak Rapuh
dan tentu, aku pastilah serapuh
daun-daun dan bunga-bunga
yang meluruh itu
ketika musim silih berganti
membuatku rebah
melata
ke tanah-tanah
kecuali Kau setia menuntunku
menyemaikan akar
di jalan-jalan
menuju rumahMu
October, 2012

Sebuah Pagi (Tentang Kita)
-teruntuk TSP-
sebuah pagi lembut mengetuk pintu
ia memberimu salam lewat kicau burung
memekari matamu dengan ranum embun.
aku membayangkan buku-buku dengan
cerita-cerita lama
selalu rapi kau letakkan
di rak-rak almari di ruang keluarga.
sepenuh kasih sayang kau merawatnya
seperti rindu
seperti doa
seperti cinta.
sebuah pagi lembut bertandang
aku membayangkan kau dan aku duduk
bercengkerama. di bilik dapur sederhana.
menyeduh teh, memanggang roti dengan
mentega, mencuri kata-kata milik para
penyair lama.
setelah itu kau dan aku akan menulis puisi-puisi
cerita-cerita,
catatan-catatan sederhana
tentang apa saja;
tentang kita.

November 2012

Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar-Jawa Timur. Menullis puisi, menikmati karya-karya sastra. Saat ini bekerja di Jakarta.
Editor :
Jodhi Yudono

Tulisan Kelinci Merah

Afrizal Malna 
Bau tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.
Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.
Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.
”Krak”
Sebuah dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan. Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan setelah ada yang membayanginya.
Bayangan yang membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan bentukbentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.
”Punten”
Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam ketika mengucapkannya. ”Punten.” Ungkapan permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu juga. Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan. Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam, gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka. Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.
Awalnya aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.
”Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan. Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partiturpartitur kekosongan mengalun melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik air sungai, bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga boleh hidup.
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau berbuat baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan. Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat, untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan jantung mereka kian sesak.
Mereka bertiga saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar tanaman dan daun-daunan. Bau rempahrempah dan bau sperma.
Aku lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang melati.
”Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya mulai kembali terdengar.
Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir. Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan. Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa mengakui yang dilihat.
Mereka mulai merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang. Bersembunyi agar ”ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi ”keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat menjadi mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon, daun-daun, batangbatang pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak terlacak, tetapi ada.
Gadis bersama kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis itu.
Mereka kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis kisah-kisahnya.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono

Jumat, 16 November 2012

Ushul Fiqh Masa Rasulullah


1.  Ushul Fiqh Masa Rasulullah
 Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[1] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”[2]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[3]
            Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
            Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
  1. 2.      Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
   عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[4]
            Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[5]
            Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
            Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.  
            Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[8]
            Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
  1. 3.      Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.[9]  
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
  1. Pemalsuan hadits
  2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan  kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis.  Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.  
4. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
            Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
  1. Alquran                                                                 
  2. hadits
  3. ijma’ ummat
  4. ijma’ orang Madinah
  5. qiyas,
  6. pendapat sahabat
  7. maslahah mursalah
  8. istishab
  9. bara’ah ashliyah
10.  adat/‘urf
11.  istiqra’ (induksi)
12.  sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13.  istidlal
14.  istihsan
15.  mengambil yang lebih mudah
16.  ishmah
17.  ijma’ orang Kufah
18.  Ijma’ sepuluh orang
19.  dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[10]       
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya.  Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut  ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm..

Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1.      Alquran
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.
            Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau  menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
            Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[11]
            Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[12] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.

5. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi  sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
  1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
  2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
  3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
  4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
  5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
  6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
  7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar,                      al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[13] 
6. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
            Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan  aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
  1. a.      Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1)      Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2)      Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3)      Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4)      Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1)      Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1) Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[14]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
  1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
  2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
b. Aliran Hanafiyah   
            Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
            Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
            Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
  1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
  2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
  3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
  4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c. Aliran Gabungan
            Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
            Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.  
            Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.  

[1]Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2]Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru Abu Sa‘id al-Khudri.  
[3]Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.  
[4]Redaksi hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[5]Lihat Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994. h. 19
[6] Lihat Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..
[7]Lihat Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[8]Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[9]Taha Jabir Alwani.Source Methodology… h. 33.  Lihat juga Muhammad al-Khudary. Tarikh…h. 150-162
[10]Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[11]Lihat Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat  juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.

[13]Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997. h. 127
[14]Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.     
[15]Lihat dalam al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Fur