1.
Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Ushul fiqh
sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul
fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian
sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa
Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh.
Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh
bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul
fiqh ada mendahului fiqh[1]
Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban
demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan
hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat,
misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran
atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai
metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum
harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara
pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan
demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe
ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah
sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang
tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat
dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para
ulama dikemudian hari
Contoh
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat
bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air
untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan
shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu
mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah
dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah
bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang
yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua
pahala.”[2]
Dalam
kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan
ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum.
Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat
dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil
ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak
hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa
Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh
Rasulullah.
Suatu
saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya
meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun
kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا
دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ
أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana
seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan
tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak
untuk ditunaikan.”[3]
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab
dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan
terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal
dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi
bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku
oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa
Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah
dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara
mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti
bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan
pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu,
yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan
dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
- 2.
Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa
sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan
Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika
Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan
hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas
terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْ
مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا
إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ :
أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟
قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ
لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ
آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari
Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz
menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika
tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan
sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah
Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu
berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa
yang diridloi Rasulullah.”[4]
Meninggalnya Rasulullah memunculkan
tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah.
Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya
Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas,
dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa
Rasulullah sendiri.[5]
Pada era sahabat ini digunakan
beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[6] Pertama, khalifah (khulafa’
rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang
ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh
para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah
momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh
sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma
yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang
berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk
mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru
yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan
mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian
hukumnya disamakan.
Penggunaan
maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab
dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah
dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat
tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf,
pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga,
tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak
tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan
sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh
Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus
pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan
yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
Kata
quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu
suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa
al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh,
sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[7] Itu berarti ada perbedaan mengenai
persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara
umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat
masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi,
dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian
khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih
bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn
sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan
yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah
metodologi.[8]
Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak
banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para
sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in,
pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam.
Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan
kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan
Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
- 3.
Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in
adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar
kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut
pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada
di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu
Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat
tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat
masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di
daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh
hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid
para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari
kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di
kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah
(para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli
hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya
ibn Katsir.[9]
Kecenderungan
berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing
daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu
yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga
dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya
berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak
berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
ini mulai muncul dua fenomena penting:
- Pemalsuan hadits
- Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu
yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok
Madinah (ahl al-hadits)
Dengan
demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai
dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab,
melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab
hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode
yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
4.
Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah
pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan
perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai
cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai
sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam
Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya,
menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang
dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas
dalil hukum itu antara lain:
- Alquran
- hadits
- ijma’ ummat
- ijma’ orang Madinah
- qiyas,
- pendapat sahabat
- maslahah mursalah
- istishab
- bara’ah ashliyah
10.
adat/‘urf
11.
istiqra’ (induksi)
12.
sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13.
istidlal
14.
istihsan
15.
mengambil yang lebih mudah
16.
ishmah
17.
ijma’ orang Kufah
18.
Ijma’ sepuluh orang
19.
dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[10]
Perdebatan
mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan,
qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam
Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah.
Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh
satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir)
bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan.
Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat
yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang
Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi
ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh
karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang
Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang
Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih
setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang
Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum
Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut
ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa
nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara
berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat
dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari
Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan
amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak
berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar
utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun
kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’
adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum
sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para
muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu
Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan
terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang
kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan
sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa
dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat
tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya.
Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits
membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan
kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan
menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada
hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan
dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah.
Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai
pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok
yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan
hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut
Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada
abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap
munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras
membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii
dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm..
Imam
Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1.
Alquran
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Melalui
sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber
pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia
menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama
ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran
dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab
Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma
dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang
dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’
orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’
umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’
sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar
dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas
dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas
nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh
yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul
fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap
Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[11]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul
fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu
Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul
fiqh.[12]
Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad
bin Hasan al-Syaybani.
Klaim
golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan
metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang
kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada
masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di
masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa
karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai
bidang ilmu yang mandiri.
Setelah
lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih
terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun
murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘
ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk
menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada
kasus-kasus baru.
5.
Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh
Puncak
perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah.
Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan
yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara
kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara
lain:
- Kitab al-Ahd atau al-Amd
karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
- Kitab al-Mu‘tamad karya
Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
- Kitab al-‘Uddah karya
Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
- Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul
al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
- Kitab al-Luma’
karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
- Kitab al-Burhan karya
Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
- Kitab Ushul Al-Sarakhsi
karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam
Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian
hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa
karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama
abad ke-5.
Di
antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan
sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di
kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar,
al-Mu‘tamad
karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa
karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul
fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan
kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah,
seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena
itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai
sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum,
kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil
hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin
yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa
aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf,
yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul
yang lain.[13]
6.
Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh
menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara
dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini
dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh
menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha
(Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga
aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
- a.
Aliran Mutakallimin
Aliran
mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin
banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya
al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya
Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul
karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi
banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab
Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu
Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa
karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay
al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam
fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun
demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya
orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin
bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1)
Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2)
Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3)
Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta
ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4)
Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh
Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada
penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1)
Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay
al-Ushul wa al-Jadal).
Ada
pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1)
Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan
mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin
adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak
memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti
Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn
al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar
al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas
oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam
al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara
tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang
tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin,
seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[14]
Ada
beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin,
antara lain:
- Penggunaan deduksi di dalamnya.
Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai
contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk
pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath.
Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
- Adanya pembahasan mengenai
teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma
karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang
sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara
itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan
pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah
(pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya
al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha
al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran
mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah
karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini
banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh,
serta bersifat lintas madzhab.
b.
Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab
Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan
metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid
fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi.[15] Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul
fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan
hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan
metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi,
kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah
tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut
pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan
persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk.
Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah
antara lain:
- al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul
al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
- Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
- Kanz al-Wushul ila Ma’rifat
al-Ushul karya Fakhr al-Islam
al-Bazdawi.
- Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c.
Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan
membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan
hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang
menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan
Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn
Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul
karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis
oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul
karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib,
dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul
karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh
al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’
karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada
pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus
sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala
al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas
menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul
karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya
al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji
satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah
mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat
atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
[1]Muhammad
Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi
Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[2]Kisah
di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I
daru Abu Sa‘id al-Khudri.
[3]Hadits
tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang
sama diriwayatkan oleh Muslim.
[4]Redaksi
hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan
redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan
Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun
hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[5]Lihat
Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence.
Virginia: IIIT. 1994. h. 19
[6]
Lihat Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah
Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..
[7]Lihat
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[8]Muhammad
al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[9]Taha
Jabir Alwani.Source Methodology… h. 33. Lihat juga Muhammad
al-Khudary. Tarikh…h. 150-162
[10]Najmuddin
al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah
al-Rayyan. 1998. h. 237-238.
[11]Lihat
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James
Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
1964. h. 53 dst.
[13]Lihat
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to
Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[14]Imam
al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi
rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan
mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George
al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in
The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
[15]Lihat
dalam al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Fur