METODE PENELITIAN
JURNALISTIK DAKWAH
Oleh Ramlah M.
Abstract : The perspective of Moslems nowadays should be
more criticsm towards the accepted daily information. One of challenges that
should be coped by the muslims is to develop islamic jurnalism and to place
value of Islam as ideology of jurnalism in shake of Islam and muslim
societyy. implemently islamic sociolize religious values of Islam and also
reject and fitter the significant progress of any kind of ancient information
from the western life. The existence of journalistic da’wah not only as a
information tools of education and entertainment, but its main purpose is a
religious leader as mission developing “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, in al-Qur’an
S. Ali Imran (3): 104, Allah says : Some methods that can be ised in developing
journalistic da’wah are as follows hipodermic needle research, uses and
gratification, volume analysis and expression, and also
framing analysis.
Kata Kunci : jurnalistik, dakwah, pers, Jarum Hipodermik, Analisis Isi, Analisis
Wacana, Uses and Gratifications, Analisis Framing.
Pendahuluan
“Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah al-Qalam,
kemudian Allah menciptakan Nûn, yakni tinta; lalu Ia berkata padanya: Tulislah,
al-Qalam bertanya: apa yang harus kutulis? Ia berfirman: tulislah apa yang
telah terjadi dan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat baik perbuatan,
peninggalan, maupun pemberian. Lalu al-Qalam pun menuliskan apa yang telah
terjadi sampai hari kiamat. Itulah maksud Allah-‘Nûn’, perhatikan Alqalam dan
apa yang dituliskannya, begitu sabda Rasulullah Saw.”
Kajian
tentang metode penelitian jurnalistik dakwah relatif masih baru atau sebut saja
masih balita. Hal ini disebabkan karena disiplin ilmu jurnalistik dakwah juga relatif masih sangat baru. Dakwah
dan jurnalistik merupakan dua kajian yang akan dikompromikan dalam tulisan ini. Setidaknya ada dua hal yang harus diklarifikasi sebelum masuk
pada pembahasan. Pertama, kata
Jurnalitik dalam terminologi “jurnalistik dakwah” berfungsi sebagai kata sifat sehingga bisa dipahami bahwa kegiatan dakwah yang dimaksud adalah
bersifat atau melalui media jurnalistik. Kedua, oleh
karena jurnalistik bagian dari komunikasi maka metode penelitian “jurnalistik
dakwah” dalam tulisan ini akan meminjam metode (model) penelitian yang
biasa dipakai dalam ilmu komunikasi. Bagi penulis, hal ini tidaklah tabu karena dakwah itu
sendiri sangat erat kaitannya dengan komunikasi, bahkan boleh dikatakan sangat
mirip.
Salah
satu tujuan tulisan ini adalah untuk menggugah kesadaran orang Muslim bahwa aktifitas dakwah bukan
hanya terbatas pada dakwah bil Kalam (DBK) akan tetapi juga sebagai dakwah bil
Qalam (DBK). Kalau pegertian dakwah disepakati sebagai proses
mengajak, membimbing, mengarahkan, memotivasi kaum Muslim untuk menjalankan
syariat Islam (Allah), maka media yang dipakai dalam proses itu bisa
bermacam-macam. Sebahagian dai (komunikator) lebih senang menggunakan media
oral sebagai cara untuk berdakwah, tetapi sebahagian yang lain lebih suka berdakwah melalui
tulisan. Dari sinilah bisa dilihat hubungan antara dakwah dan jurnalistik. Sehingga, seorang jurnalis sangat layak disebut sebagai
seorang dai.
Menurut
A. Faisal Bakti, setidaknya ada beberapa alasan kenapa jurnalistik dakwah
menjadi penting. Pertama,
objek bacaan dalam perintah Tuhan yang pertama adalah keharusan membaca alam
raya (teks kauniyah) dan teks qauliyah (Alquran dan Hadis). Perintah
Allah swt untuk membaca teks qauliyah dan alam raya menunjukkan pentingya
dilakukan riset (research) dan pengembangan (development). Kedua, signifikansi
al-Qalam (tulisan) ada pada fungsinya sebagai media sebagai penghantar
pesan-pesan. Ilmu tidak bisa ditangkap tanpa pembacaan dan pemaknaan oleh
manusia. Menurutnya goresan qalam (tekstualitas)
lebih kuat sebagai penghantar ilmu dibanding dakwah verbal (oralitas).
Jika produk DBQ terbaca dengan baik, ia akan cenderung melahirkan kreatifitas
dan kultur baru (cree la culture). Sedangkan DBK lebih cenderung
mewariskan kultur (heriter la culture). Ketiga, bahwa
Alquran adalah “kata Tuhan” sedangkan jurnalistik adalah “tulisan tangan
manusia” menunjukkan kelengkapan “persaudaraan”. Dalam hal ini, peran
jurnalisitk sebagai karya tangan manusia adalah mengolah, mencari dan
mengekspresikan pesan-pesan Tuhan (Suf Kasma, 2004: x-xi).
Al-Shabuny mengatakan
“perhatikanlah Qalam dan segala sesuatu yang ditulisnya” (Muhammad Ali al-Shabûniy, 1996: 529). Dalam ayat ini, Allah bersumpah
dengan Qalam dan Kitab yang ditulis, dengan maksud membuka pintu pengajaran
keduanya (Ahmad Musthâfa al-Marâgy, t.th: 27). Betapa Qalam itu termasuk nikmat
besar yang telah di anugrahkan oleh-Nya, agar orang dapat menuliskan buah
pikiran, keinginan, dan perasaan seseorang (Departemen Agama RI, 1995: 287).
Dengan Qalam, ilmu pengetahuan tiada tersisa tercatat, (Hamka, 1983: 40).
bahkan para pengarang dan pujangga telah mengantarkan bangsanya untuk merdeka,
di-sebabkan sari buah pena (M. Isa Anshary, 1995: 34).
Tulisan seseorang dapat
membentuk pendapat umum dan mengubah pola pikir dapat menguncang dunia seketika,
hal ini membuat Presiden John Fitzgerald Kennedy pernah menyatakan “lebih takut
pada seorang wartawan ketimbang seribu tentara” (Ainur Rafiq Sophiaan, 1993:
vii). Dibantu oleh kekuatan pers, Lenin juga mencapai suatu gerakan revolusi,
ke titik puncak, lalu mengingatkan “waspadalah terhadap kekuatan pers” (Albert
L. Hester dan Wai Lan J., 1997: 41). Karena tarikan pena sang kuli tintaitu
bisa merakit sederet tulisan sakti (Garin Nugroho, 1995: 47). Memang, tulisan adalah tamannya para
ulama, begitu pameo klasik Ali bin Abi Thalib. (Rusjdi Hamka dan Rafiq, 1983: 40).
Umat Islam dalam
perspektif kekinian harus semakin kritis terhadap
informasi yang tiap hari diterima. Salah satu dari berbagai tantangan yang
dihadapi umat Islam tersebut adalah menumbuh kembangkan jurnalistik Islami,
atau menjadikan pers Islami sebagai “ideologi” para jurnalis muslim, demi membela kepentingan Islam dan
umatnya, dan juga mensosialisasikan nilai-nilai Islam sekaligus meng-counter
dan memfilter derasnya arus informasi jahili dari Barat.
Pers
(umum) sering didefinisikan sebagai proses meliput, mengolah, dan menyebar
luaskan peristiwa (berita) atau opini/pandangan (views) kepada masyarakat luas.
Bertolak dari pengertian itulah maka pers Islami dapat dimaknai sebagai”suatu
proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan
nilai-nilai Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam kepada
khalayak, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam” (Asep Syamsul M. Romli, 2000: 85-86). Sebagai pers berkarakteristik religius (bernafaskan
ajaran Islam), Alamsyah Ratu Perwiranegara yang dikutip Rusjdi Hamka dalam buku
Islam dan Era informasi mengatakan, seharusnya media massa Islam memegang
peranan penting dan berjasa besar dalam kehidupan beragama masyarakat, terutama
masyarakat Islami.
Sejarah
telah membuktikan bagaimana kepeloporan media massa Islam dalam sejarah
peradaban masyarakat di dunia. Sebelum Eropa menemukan tiga penemuan barunya,
yaitu: seri cetak, pemakaian mesin, dan kompas, yang menjadi motor pemercepat
tumbuhnya gerakan Renaisance, gerakan kelahiran kembali peradaban Eropa yang
lahir sejak abad 14 Masehi yang kelak menjadi titik awal jaman Kerajaan
Abbasiah (pada abad VIII dan X-an) telah banyak tumbuh industri-industri kertas
setempat. Pada abad XII-an baru masuk kedaratan Eropa. Hal inilah satu realitas
yang dapat dibanggakan oleh kaum muslimin, yakni kontribusinya dalam membuat
kertas yang dihadiahkan sekaligus membuka peradaban baru bangsa Eropa (Rusjdi Hamka dan Rafiq, 1983: 42-43). Itulah
fakta sejarah, yang secara historis telah menjadi saksi bagaimana peran pers
Islami dalam sejarah peradaban umat Islam melukis sejarah peradaban modern yang
kita saksikan dewasa ini.
Hanya
saja umat Islam dewasa ini kerap di hadapkan suatu dilema yang lumayan pelik,
yaitu tidak memilikinya suatu media massa yang memadai untuk memperjuangkan dan
menegakkan nilai-nilai Islam. Dampaknya, yang terjadi tidak hanya kurang
tersalurkannya aspirasi umat, tetapi juga umat Islam hanya menjadi konsumen
bagi media non-Islam massa lain yang tidak jarang membawa informasi yang tidak
relevan dalam rangka pemberdayaan umat. (Asep
Syamsul M. Romli, 2000: 81).
Jadi,
kehadiran jurnalistik dakwah yang penulis angkat sebagai titik acuan, selain
berfungsi sebagai alat informasi pendidikan dan hiburan, namun intinya sebagai
pembimbing kerohanian atau pengembangan misi ‘amar ma’ruf nahi munkar, sesuai
firman Allah dalam QS.Ali Imran [3]: 104.
Pengertian
Jurnalistik dakwah (DBQ)
1. Pengertian Dakwah
Dakwah;
secara etimologis, perkataan dakwah berasal dari bahasa Arab دعا – يدعوا – دعوة yang berarti
menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu (Ibnu Manzur, 1998: 359-360). Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan
tersebut dikenal dengan panggilan da’i (orang yang menyeru). Tetapi mengingat
bahwa proses penyampaian (tablîgh) atas pesan-pesan tertentu, maka
dikenal pula istilahmuballig yaitu
orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message)
kepada pihak komunikan (Toto Tasmara, 1997: 31).
Secara etimologis pengertian dakwah adalah mengajak umat
manusia kepada al-khaer dan al-hudaserta
me-merintahkan mereka berbuat ma’rûf dan mencegah berbuat mungkar agar
mereka memperoleh hidup di dunia dan akhirat (Ali Mahfuz, 1952: 17).
Kata da’ā pertama
kali dipakai dalam Alquran dengan arti mengaduh (meminta pertolongan kepada
Allah) yang pelakunya adalah Nabi Nuh as (QS. al-Qamar (54): 10) Lalu kata ini berarti memohon pertolongann kepada Tuhan
yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum) (QS. al-Qamar (39): 8). Setelah itu, kata da’ā berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin
(QS. Fushshilat (41): 33).
Kemudian kata yad’ū,
pertama kali dipakai dalam Alquran dengan arti mengajak ke neraka yang
pelakunya adalah syaitan (QS. Fathir (35): 6). Lalu kata itu berarti mengajak ke surga yang pelakunya
adalah Allah (QS. Yunus (10):25), bahkan dalam ayat lain ditemukan bahwa kata yad’ū dipakai
bersama untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang musyrik dan
mengajak ke surga yang pelakunya Allah, sebagai dalam QS. al-Baqarah (2):221. (Departemen Agama RI, 1989: 54).
Sedangkan kata dakwah
atau da’watan sendiri, pertama kali digunakan dalam Alquran dengan arti seruan
yang dilakukan oleh para Rasul Allah itu tidak berkenan kepada obyeknya (QS.
al-Mu’min (40):43). Namun kemudian kata itu berarti panggilan yang juga
disertai bentuk fi’il (da’ākum) dan
kali ini panggilan akan terwujud karena Tuhan yang memanggil (QS. al-Rum
(30):25). Lalu kata itu berarti permohonan yang digunakan dalam bentuk doa
kepada Tuhan dan Dia menjanjikan akan mengabulkannya (QS. al-Baqarah (2):186).
Dari
uraian-uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa kata dakwah dalam pengertian
terminologi adalah menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu. Adapun orang yang melakukan
ajakan atau seruan tersebut dikenal dengan da’i (orang yang menyeru).
Pada
sisi lain, karena penyampaian dakwah termasuk tablīgh, maka
pelaku dakwah tersebut di samping dapat disebut sebagai da’i, dapat pula
disebut sebagai muballig yaitu
orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message)
kepada pihak komunikan.
Sedangkan
pengertian dakwah secara terminologis adalah mengajak umat manusia kepada al-khaerserta
memerintahkan mereka berbuat ma’rūf dan
mencegah berbuat munkar agar
mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pengertian dakwah
ini, berdasar pada QS. al-Imrān
(3): 104 sebagai berikut:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمّةٌ
يَدْعُوْنَ اِلَي اْلخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
اْلمنْكَرِ وَأُلَئِكَ هُمُ
اْلمُفْلِحُوْنَ
Terjemahnya :
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung. (Departemen Agama RI, h. 93).
Pengertian
dakwah di atas, agaknya cukup mewakili pengertian-pengertian dakwah secara
terminologis yang banyak dikemukakan oleh ulama dan cendekiawan Muslim lainnya.
Sejalan dengan pengertian dakwah tersebut, Didin Hafiduddin menyatakan bahwa
makna dakwah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara seksama,
yakni :
a. Dakwah
sering disalah mengertikan sebagai pesan yang datang dari luar, sehingga
langkah pendekatan lebih diwarnai dengan interventif, dan para
dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang
dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Dakwah
sering diartikan menjadi sekedar ceramah dalam arti sempit, sehingga orientasi
dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja.
c. Masyarakat
yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap vacuum, padahal
dakwah berhadapan dengan setting masyarakat dengan berbagai
corak dan keadaannya. Sehingga dakwah itu harus dinamis dan selalu berkembang
baik dalam hal materi, metode maupun strategi dakwah itu sendiri.
d. Dakwah yang diartikan hanya sekedar menyampaikan dan
hasil akhirnya terserah kepada Allah, akan menafikan perencanaan, pelaksanan
dan evaluasi dari kegiatan dakwah. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya bila
kegiatan dakwah hanya asal-asalan.
2. Jurnalistik
Jurnalistik berasal
dari kata “jurnal” atau “dujour” yang berarti hari, dimana segala berita atau
warta sehari itu termuat dalam lembaran yang tercetak (Asep Syamsul M. Romli, 68). Dalam kamus Bahasa Inggris “Journal” diartikan
sebagai majalah, surat kabar, dan diary (buku catatan harian), sedangkan
“journalistic” diartikan kewartawanan (warta=berita, kabar) (Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, 1982: 93). Jadi
jurnalistik adalah salah satu bentuk publisistik/komunikasi yang menyiarkan
berita dan atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari yang umum dan
aktual dengan secepat-cepatnya (Riyati Irawan dan Teguh Meinda, 1981:
1). Di samping itu, jurnalistik diapandang sebagai suatu pengelolaan
laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan berita sampai
penyebarannya kepada masyarakat ( Onong Uchana Effendi, 2001: 151).
Argumen-argumen yang
mendasari pentingnya penerapan dakwah jurnalitik adalah untuk menumbuh
kembangkan gerakan dakwah Islam lewat media cetak. Karena selama dekade ini
pasaran pers Indonesia selalu ditandai dengan aneka ragam penerbitan majalah,
mulai majalah berita, hiburan, majalah wanita dan anak-anak, begitupula olah
raga, sastra sampai pada yang lebih khas seperti, “motor dan mobil (otomotif).
Di antara aneka ragam itu yang barang kali bersamaan timbulnya dengan sejarah
pers Indonesia ialah majalah yang bernafaskan Islam diterbitkan oleh
penerbit dan pengarang-pengarang Islam untuk tujuan penyebaran dan pendalaman
akhlak pembacanya. Mengingat saat ini, bangsa Indonesia semakin terpuruk dan
gelisah hingga berusaha mencari “jawaban” terhadap persoalan hidup atau
problema kemasyarakatan lewat siraman rohani dari jurnalistik dakwah.
Jadi, jurnalistik dakwah
adalah suatu aktifitas dan proses mengajak, membimbing, memotivasi, membina,
menyampaikan pesan-pesan agama kepada orang Muslim melalui media tulisan
(jurnalistik) baik majalah, surat kabar, bulletin, buku dan sebagainya.
Metode Penelitian Jurnalistik Dakwah
Ada beberapa model metode
penelitian yang bisa dipakai dalam penelitian jurnalistik dakwah atau dakwah
bil Qalam (DBQ). Metode penelitian yang akan dipakai dalam
jurnalistik dakwah ini berasal dari metode penelitian yang biasa dipakai dalam
kajian komunikasi antara lain, model penelitian 1) Jarum Hipodermik, 2) Use
and Gratification, 3) Analisa Isi, 4) Analisis Framing.
a. Metode
Jarum Hipodermik
Penelitian
model ini dilakukan oleh Hovland untuk meneliti pengaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap. Model ini berasumsi
bahwa komponen komunikasi (komunikator, pesan, dan media) sangat kuat dalam
mempengaruhi komunikasi. Disebut model “jarum hipodermik” karena seakan-akan
komunikasi disuntikkan langsung ke dalam jiwa komunikan (al-Mad’u). Model ini
disebut juga sebagai “bullet theory” karena seakan-akan al-Mad’u (komunikan
atau audiens) secara pasif menerima berondongan pesan dari komunikator
(al-Dai). Jika komunikator sudah dipilih dengan tepat, pesan yang baik, serta
media yang benar baik media elektronik maupun media cetak, maka komunikan akan
diarahkan sekehendak komunikator (Jalaluddin Rakhmat, 2000: 62). Untuk mengetahui variabel efek
(pengaruh) dapat dilihat dari tiga kategori yakni segi kognitif(perubahan pendapat,
penambahan pengetahuan serta perubahan kepercayaan), segi afektif (sikap,
perasaan, dan kesukaan), segi behavioral yakni prilaku atau kecenderungan prilaku (Jalaluddin Rakhmat, 2000: 64).
b. Model
Penelitian Uses and Gratification (Penggunaan
dan Pemenuhan Kebutuhan)
Model ini merupakan
antitesa dari model penelitian Jarum Hipdermik yakni tidak tertarik untuk
melihat apa yang dilakukan atau pengaruh media pada diri seseorang, tetapi ia
tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Misalnya, sejauh
mana surat kabar membantu responden memperjelas suatu maslaah atau menemukan
masalah. Jadi, model penelitian ini tidak akan melihat sejauh mana pengaruh
komunikator, pesan serta media dalam merubah sikap dan prilaku audiens, akan
tetapi bagaimana sikap responden (komunikan) terhadap media, pesan, serta
komnikator tersebut (Jalaluddin Rakhmat, 2000: 65-67). Model penelitian ini menempatkan materi dakwah, media
dakwah sebagai objek respond audiens. Maksudya, al-Mad’u (audiens) akan puas
terhadap seorang dai jika materi dakwah dan media yang digunakan dapat memenuhi
apa yang dibutuhkan seorang al-Mad’u (audiens).
c. Penelitian Model
Analisis Isi dan Wacana
Penelitian
ini tidak melihat dan terpengaruh kepada komuikator, media, serta pesan dakwah.
Tetapi untuk model analisis isi, penelitian ini lebih melihat materi dakwah yang diangkat oleh
seorang dai. Aplikasi metode ini adalah seorang peneliti jurnalistik dakwah
akan melihat dan mencata tema-tema inti yang diminati audiens dan yang sering
dikemukakan oleh seorang dai baik yang berkaitan dengan akidah, akhlak,
muamalah, serta ibadah. Sementara di lain sisi, analisis wacana tidak melihat
seberapa sering tema dakwah muncul dalam jurnalistik dakwah. Fokus kajian
analisis wacana terletak pad ide, latar belakang serta konteks yang ada di luar
dengan pemilihan tema seorang dai (jurnalis).
Neuman menyebutkan bahwa
“content analysis is a technique for gathering and analyzing the content of
text” maksudnya, analisis isi adalah teknik pengumpulan data serta analisis
terhadap isi suatu teks. Yang dimaksud teks di sini bukan hanya sebatas tulisan
tetapi juga termasuk ide, tema, pesan, arti maupun symbol-simbol yang terdapat
dalam teks baik berupa tulisan, gambar maupun pidato (Bambang Prasetyo dan
Lina Miftahul Jannah, 2006: 167).
d. Model
Penelitian Analisis Framing
Analisis
framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori
penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan social
bukanlah realitas yang natural tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya,
analisis pada paradgima konstruksionis adalah menemukan bagaimana pristiwa dan
realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk(Eriyanto, 2005: 37). Jadi
pesan yang dikirim dalam lalulintas komunikasi diproduksi dan dipertukarkan
makannya oleh pengirim, penerima, serta dihubungkan dengan konteks social di
mana mereka berada.
Analisis
framing adalah suatu model penelitian dalam komunikasi yang melihat bagaimana
realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing adalah sebuah cara
bagaimana pristiwa disajikanoleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan
cara menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu. Oleh karena itu,
yang dilakukan oleh media adalah menseleksi, menghubungkan, menonjolkan, serta
menekankan isu tertentu sehingga makna suatu pristiwa lebih mudah
menyentuh dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 1994: 368).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar