Afrizal Malna
Bau tanah seperti
ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan
rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang
memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang
membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat partiturnya sendiri
melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan
kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan
itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.
Matahari membuat
penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan
layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti
jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti
anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya.
Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan
dalam pelukan hutan.
Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara
daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang
berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan
air yang membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di
dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.
”Krak”
Sebuah
dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang
tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon
tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang
dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri
relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui relung-relung
lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan itu sendiri. Uap
putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari daun-daun yang
membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak ada halaman
depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan
kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir.
Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh
yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau
dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh
ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian
ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam
hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai
jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada
suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi
tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga
orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi
melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu
terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi
kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah
berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan
apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka
merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga
mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang
harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan,
kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal
tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan. Konsep-konsep yang
aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut diciptakan.
Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak dipelihara
melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan setelah
ada yang membayanginya.
Bayangan yang membuat malam dan siang.
Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di sini. Mereka mulai
belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan
maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air
mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan
bentukbentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh
mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui.
Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi
nama-nama dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan
pengertian-pengertian dari yang pernah mereka alami. Belajar membuat
kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang mereka alami. Akhirnya
mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa. Mereka ketakutan
ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka. Sehingga
mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan
lainnya.
”Punten”
Mereka
terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang
dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam
ketika mengucapkannya. ”Punten.”
Ungkapan permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu
juga. Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan
mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan.
Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang
dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai
logam, gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa melihat ketiga
makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan gerak angin
saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka. Mereka
tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan
tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.
Awalnya
aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna
merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di
tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja
bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah
itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap
berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Kelinci merahnya
melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa prasangka. Bulu lembutnya
seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang panjang menjulang ke
atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat lagi mengejar
gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat lagi,
masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di
sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi
hamparan rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.
”Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap
pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan
ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian
tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang
sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul,
Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama
Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan monotheis
menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka
semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak
kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian
putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti
hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada
satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk
seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan. Ketika mereka
mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap merupakan bagian
dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak berubah
menjadi kekuasaan mayoritas. Partiturpartitur kekosongan mengalun
melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu dan indah yang membuat
seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik air sungai,
bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka
yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau
melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air,
bukan jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau
hidup, yang lain juga boleh hidup.
Pendeta Bumi menyatakan tiga
syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat,
menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar
mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi.
Tidak tahan berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana
kehidupan dijalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama
penungguan itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat
jahat kepada orang lain atau berbuat baik. Membunuh orang lain atau
menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang
lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup dari kerja keras yang
dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya
sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai
terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar
mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin
terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah
banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan.
Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur,
untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat, untuk
berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal tubuh
mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi mereka
membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan dan hidup
bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan jantung
mereka kian sesak.
Mereka bertiga saling melihat dan saling
menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu
agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka
saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah
banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang
tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka
masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka
mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi
akar-akar tanaman dan daun-daunan. Bau rempahrempah dan bau sperma.
Aku
lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia
menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan
uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang
melati.
”Punten,”
kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas kepalaku. Gadis itu
hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan hutan. Tetapi
wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian berakhir.
Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali
hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya
mulai kembali terdengar.
Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh
satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih
diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar
melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir.
Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak
berjalan. Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu
dengan mendengar untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan
dengan melihat tanpa mengakui yang dilihat.
Mereka mulai merasakan
telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti
ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang.
Bersembunyi agar ”ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi
”keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat
menjadi mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat.
Pohon, daun-daun, batangbatang pohon, batu, lumut, tanah, serangga,
burung, semua dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah
menjadi yang tak terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang
hilang tetapi ada. Tak terlacak, tetapi ada.
Gadis bersama kelinci
merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci
merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya
seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini
telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan
menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha
mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis itu.
Mereka
kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak
terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari
hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku
sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang
kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas napasku yang
masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah
peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku
seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai
sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu
sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya
untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam
tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis
kisah-kisahnya.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar